Kamis, 29 Desember 2011

Kejutan yang tak terlupakan

Setiap pelajaran agama Islam, pak Abbas selalu memintaku ke luar kelas. Aku memang satu-satunya non Muslim di kelas. Bbukan karena pak Abbas benci, tapi itu justru karena beliau tidak ingin ada kesalahpahaman. Biasanya aku ke perpustakaan atau kantin. Sebenarnya, aku ingin berada di ruang kelas mendiskusikan agama bersama beliau. Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini ada pelajaran agama Islam. Kebetulan aku lagi suntuk sekali karena di rumah bapak dan ibu bertengkar lagi. Aku punya inisiatif untuk mengikuti pelajaran agama kali ini. “Pak, untuk pelajaran kali ini, ijinkan saya tetap tinggal di kelas ya pak. Saya sedang malas ke luar kelas.” Pintaku. “Lho, ini kan pelajaran agama Islam. Apa kamu nanti tidak terbebani waktu saya menerangkan ke teman-temanmu? Apa kamu tidak merasa terganggu?” kata pak Abbas dengan bijaknya. ‘Tidak pak. Saya akan tenang dan tidak mengganggu yang lain.” Kataku denga gembira karena diijinkan tetap tinggal di kelas. “Ya sudah kalau begitu, silahkan duduk. Kalau nanti kamu merasa kurang nyaman, kamu boleh ke luar kelas.” Kata pak Abbas. Akhirnya, aku pun tetap berada di kelas untuk mendengarkan pelajaran agama Islam untuk pertama kalinya. Aku merasakan sesuatu yang lain dengan pelajaran ini. Ketika itu pak guru menerangkan tentang perjuangan Nabi Muhammad menghadapi orang-orang Quraisy. Aku betul-betul tertarik dengan kisah Nabi Muhammad. Hari-hari berikutnya, setiap pelajaran agama aku selalu ikut mendengarkan. Aku seperti mendapatkan ketenangan batin setiap pelajaran usai. Apa ini karena ketenangan ini tidak kudapatkan di rumah? Entahlah. Bapak dan ibu selalu saja bertengkar gara-gara masalah sepele. Betul-betul kontras dengan kehidupan Nabi Muhammad dan ibunda Khadijah yang penuh keharmonisan dan keromantisan. Tanpa sadar, aku mulai tertarik dengan agama ini. Selepas SMP aku pun masuk SMEA. Kebetulan juga di kelasku aku satu-satunya non-Muslim. Teman-teman memahami posisiku yang berbeda tetapi mereka tetap tidak membedakan. Di sekolah ini pun kuputuskan untuk tetap mengikuti pelajaran termasuk agama. Kebetulan guru agamanya perempuan, bu Wid. Bu Wid orang yang sabar dan pengertian, dari sinilah rasa simpatiku terhadap agama ini semakin kuat. Kelas III SMEA merupakan tonggak perubahanku. Setelah sekian lama aku berkutat dengan rasa ingin tahu yang lebih dengan agama ini. Hingga suatu ketika kuutarakan kegalauanku kepada bu Wid. Akhirnya kuungkapkan semua kegalauan yang selama ini kualami. Kuceritakan semuanya tanpa terkecuali; keluargaku yang kurang harmonis hingga keresahan hati yang selalu mendera perasaanku. Setiap hari Minggu, aku juga mendapatkan wejangan dari gereja tapi bukan ketenangan yang kudapat. Aku merasakan ketengan setiap mengikuti pelajaran agama Islam. Kekeringan yang selama ini kurasakan seperti terobati. Apa arti semua ini? Bu Wid menjelaskan bahwa itu adalah hidayah. “Cobalah kamu bicarakan dulu dengan orangtuamu. Ikutilah kata hatimu. Apa yang menurutmu baik, ikutilah.” Kata bu Wid menyarankan. Sesampai di rumah, aku langsung menemui ibu. Kuutarakana apa yang tdai aku diskusikan dengan bu Wid. Sengaja aku bicara dengan ibu terlebih dahulu karena kutahu kelembutannya. Ibu sosok yang mudah mengerti perasaanku. Awalnya ibu menolak keinginanku. Setelah menjelaskan semua, ibu pun mau menerima dan memahami keputusanku. “Kamu sudah besar, Nduk. Kamu yang menentuka pilihanmu.” Kata ibu dengan berlinang air matanya, “Tentang bapak, nanti biar ibu yang mengurus.” Lanjutnya. Akhirnya aku memantapkan hati untuk memeluk Islam. Dengan disaksikan teman-teman kuikrarkan dua kalimat syahadat; kalimat yang selama ini selalu memanggil-manggil relung hatiku. Kurasakan kedamaian yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Hari ini aku resmi menjadi muslimah. Ujian kelas III SMEA pun di ambang pintu. Aku harus lebih berkonsentrasi dalam menghadapi ujian. Aku harus mendapatkan hasil yang terbaik. Ingin kubuktikan pada orang tuaku bahwa dengan agamaku yang sekarang prestasi akademikku bisa menjadi lebih baik lagi. Alhamdulillah, ujian pun selesai. Aku tinggal menunggu pengumuman. Waktu yang banyak luang sering kugunakan berdiskusi dengan ibu soal agama. Ibu tidak membantah tapi juga belum menerima. Sementara adik-adikku cenderung mengikuti jejak-jejakku. Alhamdulillah, aku lulus dengan nilai tertinggi dan mendapat kesempatan untuk PMDK di Unnes. Akhirnya, aku pun kuliah di Unnes. Aku kost di sebuah kost yang islami. Di sinilah, kesempurnaan beragamaku berawal. Teman-teman satu kost kebetulan berjilbab semua, di kost inilah jilbab mulai kukenakan. Serasa diri ini telah menjadi muslimah seutuhnya. Hingga pada suatu hari, pak pos datang membawa surat dari ibu. Berpanjang lebar ibu menceritakan kegelisahannya selama kutinggalkan kuliah. Ibu menceritakan kegelisahannya selama kutinggalkan kuliah. Ibu menceritakan pertemuan yang tidak disengaja dengan bu Wid, guru agamaku. Pertemuan itu membuat ibu semakin mantap untuk menyatakan berhijrah sebagaimana aku; memeluk agama Islam. Aku meneteskan air mata bahagia karena ibu telah menjadi seorang muslimah. Ibu juga menceritakan bagaimana teman-teman lamanya datang untuk membujuk ibu untuk kembali tetapi ibu sudah mantap dan menyatakan yakin dengan pilihannya. Ibu juga bercerita kalau bapak tetap belum bisa meninggalkan agama lamanya. Aku hanya berharap suatu saat pun bapak akan mendapatkan hidayah sebagaimana aku dan ibu. Liburan pun tiba. Ibu bilang bapak yang akan menjemput, naik sepeda motor. Dua jam perjalanan, kami masuk Boyolali. Sayup-sayup kudengar adzan Zhuhur berkumandang. Dari jauh kulihat sebuah masjid. Sampai depan masjid, bapak membelokkan sepeda motor ke halam masjid. Aku kaget. “Lho, pak, kenapa berhenti?” kataku dengan penasaran. “Nduk, kita shalat dulu ya.” Kata bapak dengan suara bergetar. “Ma syaAllah. Subhanallah. Fa bi ayyi ala’I rabbikuma tukadzdziban, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” aku tertunduk tanpa bisa berkata-kata. Aku hanya takjub dengan rencana dan scenario-Nya. Maha suci Engkau ya Allah yang memberi petunjuk kepada siapa pun yang Engkau kehendaki. (Sebagaimana yang dikisahkan oleh Amatullah di Kendal, yang dimuat di majalah ar Risalah edisi Desember 2011, dan ditulis ulang oleh el-afifi). http://www.oaseimani.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar